Posting Lalu

Senin, 09 Agustus 2010

Ketika Terucap Doa dan Harapan


oleh : Muhammad Hasbi


            Pagi ini merupakan hari terakhir bagi Husin tinggal di kota ini. Ayahnya menyuruhnya untuk pindah ke Pondok Pesantren yang berada di pedasaan. Ayahnya menginginkan ia untuk banyak mengenyam pendidikan agama yang mendidik moral ketimbang di sekolah-sekolah umum yang mementingkan aspek pelajaran umum.
            Husin memang dari kecil telah bersekolah di sekolah negeri, hal itu yang membuat ia kurang mengerti soal akhlak-akhlak kepada orang yang lebih tua dan terkadang ia bersikap kurang ajar kepada orang tuanya sendiri. Husin adalah anak tunggal, hal itulah yang membuat kedua orang tuanya memanjakan Husin.
            “Husin, bagaimana barang-barangmu, sudah kau siapkan?” tanya Ayah Husin.
            “Sebentar, Yah. Tinggal sedikit lagi aku akan menuju ke bawah!” jawab Husin.
            Selang beberapa waktu, Ayah Husin mengantarkannya menuju ke Pondok Pesantren barunya. Husin memang terlihat agak kurang setuju untuk sekolah di Pondok Pesantren, Husin berkeinginan untuk melanjutkan ke SMKN di kota tinggalnya, ia memang ahli dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, namun apa daya ia tidak bisa menentang keinginan kedua orang tuanya, meski sikapnya terkadang kasar namun dalam benaknya ia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya.
            “Husin...?” tanya Ayah.
            “Iya, Yah...!” jawab Husin
            “Alasan mengapa Ayah menyekolahkanmu ke Pondok Pesantren adalah supaya kamu lebih mengerti agama Islam, jika kamu sudah mengerti kamu akan bisa memaknai arti kehidupan ini. Kita bukan hanya hidup di dunia ini tapi juga di akhirat. Ayah ingin kamu bisa membanggakan Ayah dan Ibumu ini dengan perubahan sikapmu ke arah lebih baik.” Nasihat Ayah kepada Husin.
            Husin hanya terdiam memandang ke arah luar kaca mobil, dalam benaknya ia ingin berubah namun berat sekali menjalankannya.
            Saat mereka tiba di sana keduanya disambut oleh Pemangku Pesantren, kebetulan Pemangku Pesantren ini adalah kenalan Ayah Husin. Tak selang beberapa lama Husin ditunjukkan di mana ia akan tinggal selama beberapa tahun, tempat yang tidak akan terpikirkan oleh Husin atau tidak akan terbayang olehnya, kondisi tempat ini jauh dari kondisi tempat dimana selama ini Husin tinggal. Dalam satu kamar saja Husin harus berdesak-desakan dengan belasan teman barunya, kamar mandinya pun tak seperti apa yang ada di rumahnya, benar-benar jauh dari harapan Husin.
            Husin memang anak yang gampang mengakrabkan diri, hanya selang beberapa jam ia sudah bisa mendapatkan teman. Salah seorang temannya adalah Abu Bakar, disana ia bisa menyesuaikan kondisi dimana ia berada. Setiap setelah jamaah maghrib ia bersama teman-temannya tartil al-Qur’an, maklum Husin lama tinggal di kota sehingga ia jarang membaca al-Qur’an itupun kalau ada maunya sehingga ketika gilirang ia membaca ia banyak sekali melakukan kesalahan dalam bacaan, semakin lama ia tambah kesal karena banyak sekali bacaannya yang salah.
            “Ah...aku bosan terus salah!” keluh Husin kepada temannya.
            “Loh, tidak apa-apa Sin, kita semua disini sedang belajar juga!” sahut Abu Bakar memberi pengertian kepada Husin.
            “Aku muak, aku mau pergi!” sahut Husin dengan nada kasar.
            Kejadian ini membuat teman-teman baru Husin kecewa dengan sikapnya termasuk Abu Bakar, kejadian ini kemudian didengar oleh Ustadz Sholeh salah seorang teman dari Ayah Husin. Ustadz Sholeh mendengar hal ini langsung bertindak cepat ia kemudian mencari Husin, ia menanyakan keberadaan Husin  kepada semua teman sekamar, namun tak seorang pun tahu, Ustadz Sholeh berjalan menyusuri depan kamar-kamar santri berharap akan menemukan Husin, tak selang beberapa lama ia bertemu dengan Abu Bakar teman baru Husin, Abu Bakar mengatakatan kalau Husin sekarang sedang duduk-duduk di pinggir kolam dekat asrama. Ustadz Sholeh langsung menghampiri Husin dan berbincang-bincang dengan Husin.
            “Husin...kamu sedang memikirkan apa?” tanya Ustadz Sholeh mengawali pembicaraan.
            “Tidak, Ustadz!” jawab Husin singkat.
            “Ustadz tahu apa yang kamu pikirkan, kamu tidak suka sekolah di Pondok Pesantren ini kan?” tanya Ustadz Sholeh.
            Husin terkejut mendengar perkataan Ustadz Sholeh, hal itulah yang dipikirkan oleh Husin, ia pun melirik ke arah Ustadz Sholeh.
            “Belajar itu memeng membutuhkan kesabaran, ibaratnya kita sedang mencari barang kita yang hilang, kita harus fokus terhadap benda yang kita cari itu, banyak bersabarlah dan berdoalah kepada Allah agar engkau diberi kemudahan.” Nasihat Ustadz Sholeh.
            Setelah mendapatkan nasihat dari Ustadz Sholeh hari tak terasa sudah larut ia kemudian dipersilahkan kembali ke kamarnya untuk istirahat. Namun ia tidak bisa tidur karena dalam pikirannya ia terus memikirkan nasihat dari Ustadz Sholeh, terkadang ia teringat nasihat dari Ayahnya. Dia bingung dengan semua yang terjadi, ia tidak bisa tidur walau kedua jarum jam sudah menujuk ke angka dua belas. Husin mencoba keluar dari kamarnya dan duduk melamun. Tak disangka dalam lamunannya ia dikejutkan oleh Abu Bakar sahabatnya yang baru ia kenal. Mereka pun berbincang memecah sunyinya malam, Abu Bakar meminta Husin untuk menceritakan apa yang ia pikirkan, awalnya Husin tidak mau bicara sedikitpun tentang hal yang ia pikirkan, namun akhirnya Husin mau menceritakan masalah yang sedang ia pikirkan, sebagai seorang sahabat Abu Bakar terdiam mendengarkan keluh kesah dari temannya itu, ia lalu mencoba memberi nasihat supaya ia segera sholah dan berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan.
            Tidak disangka semua nasihat Abu Bakar dilakukan oleh Husin, ia pun merasa sedikit lebih tenang dan mencoba bertahan disini untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuanya. Hal inilah yang membuat tali persahabatan keduanya semakin erat disaat belajar atau sedang jalan-jalan mereka selalu bersama, Husin merasa tenang dengan keadaannya yang sekarang. Hari demi hari terus dijalani oleh Husin di Pondok Pesantren ini, ia mencoba terus bertahan terlebih sekarang ada Abu Bakar sahabatnya yang selalu menemaninya dan memberi nasihat ketika ia mendapat masalah. Semakin lama ia merasa hidupnya semakin tentram, hatinya juga tidak gelisah seperti dulu lagi.
            Hari-hari yang membahagiakan bagi Husin terlebih ia bisa belajar tentang agamanya sendiri dan mendapat pengalaman-pengalaman hidup. Tidak terasa hampir setahun Husin tinggal di Pondok Pesantren ini, semakin lama mulai nampak perubahan pada diri Husin, dulu Husin adalah anak yang tidak sabaran namun sekarang malah sebaliknya, Husin yang dulu baca al-Qur’annya tidak lancar malah sekarang tambah lancar dan ia juga bisa mengartikan beberapa dari ayat-ayat al-Qur’an.
            Perubahan pada diri Husin telah didengar oleh kedua orang tuanya melalui Ustadz Sholeh. Ustadz Sholeh yang pada saat itu sedang berkunjung ke kota orang tua Husin berada menceritakan perubahan-perubahan yang ada pada diri Husin sekarang. Mendengar cerita dari Ustadz Sholeh kedua orang tuanya bersyukur kepada Allah dan merasa bangga dengan anaknya yang sekarang. Kedua orang tua Husin lalu mengurungkan niat untuk menyambangi Husin, mereka takut kedatangan mereka akan memecahkan kosentrasi Husin dalam menimba ilmu di Pondok Pesantren.
            Semakin lama Husin tinggal di Pondok Pesantren membuat ia semakin betah, terlebih sekarang ia bisa mengajarkan kemampuannya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi kepada teman-temannya, walaupun hanya bermodal tiga buah perangkat komputer namun Husin tetap bersemangat mengajarkan ilmunya kepada mereka. Melihat teman-temannya yang bersemangat dalam menangkap ilmu yang disampaikannya, Husin terkadang bermimpi ingin memajukan Pondok Pesantrennya melaui kemampuan yang dimilikinya. Husin dan beberapa temannya termasuk Abu Bakar akan berupaya untuk membentuk sebuah tim yang akan mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi di Pondok Pesantren mereka. Kabar keinginan Husin dan teman-temannya telah didengar oleh Pemangku Pesantren dan Ustadz Sholeh, mereka memberikan lampu hijau kepada mereka untuk mengembangkan keinginan mereka di Pondok Pesantren ini, Ustadz Sholeh bersama dengan Ustadz-Ustadz lainnya berupaya untuk mencari dana untuk mendirikan laboratorium komputer di Pondok Pesantren. Alhamdulillah dengan uang infak dari para alumni dan penduduk sekitar akhirnya mereka bisa membangun laboratorium komputer lengkap dengan akses internet.
            Suatu ketika Husin mendengar ada perlombaan IPTEK, Husin kemudian membicarakan hal ini dengan teman-temannya, ternyata ia mendapat respon baik dari teman-temannya dan mereka berusaha agar keinginan mereka akan terkabul. Tanpa buang waktu lagi Husin dan teman-temannya langsung menemui Ustadz Sholeh dan menceritakan kabar ini.
            “Ustadz, kami ingin sekali mengikuti perlombaan ini!” pinta Husin.
            “Sebetulnya saya tidak bisa memutuskannya sekarang, saya akan berkordinasi dengan Bapak Kyai Pemangku Pesantren untuk memutuskannya, apa kalian diperbolehkan atau tidak?” jawab Ustadz Sholeh.
            Ustadz Sholeh kemudian menemui Bapak Pemangku Pesantren, mereka lalu membahas tentang perlombaan ini. Awalnya mereka agak tidak setuju dengan permintaan Husin dan teman-temannya, namun melihat kegigihan mereka dalam kelompok yang mereka buat akhirnya Ustadz Sholeh, dan Bapak Pemangku Pesantren mengizinkan mereka mengikuti perlombaan tersebut. Mendengar kabar permintaan mereka dikabulkan, Husin dan teman-temannya setiap hari giat berlatih dan berdoa semoga mereka diberi kelancaran dalam perlombaan tersebut.
            Hari yang dinanti pun tiba, berbekal kendaraan dari Pesantren mereka berangkat dengan perasaan bahagia dan mereka ingin mengharumkan nama Pondok mereka. Dalam perjalanan pun mereka tak henti berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dalam melaksanakan tugas mereka. Setelah mereka sampai ditempat perlombaan Abu Bakar merasa agak canggung melihat lawan-lawannya yang akan bersaing dengannya, perasaan minder bukan hanya dirasakan Abu Bakar saja namun teman-temannya juga, maklumlah mereka baru mengenal teknologi informasi dan komunikasi baru-baru ini. Seusai perlombaan, mereka kemudian berbincang-bincang sambil menuju ke mushollah dekat dengan tempat perlombaan.
            “Hai, teman ayo kita sholat dhuhur dulu, sekarang sudah jam satu siang!” kata Husin mengajak temannya.
            “Ayo..kita sholat. Eh aku sedikit ragu dengan hasil yang kita akan capai, apa kita bisa meraih hasil yang baik...?” sahut temannya yang lain.
            “Apapun hasilnya kita terima saja, kan kita sudah berusaha dengan semaksimal mungkin. Setelah sholat kita berdoa supaya kita diberi hasil yang terbaik.” Jawab Husin menyakinkan temannya.
            Mereka pun langsung melaksanakan sholat dhuhur. Seusainya mereka berkumpul di tempat pengumuman, tidak lama kemudian dewan juri mengumumkan hasil dari penilaian mereka, dewan juri hanya memilih peringkat sepuluh besar yang nantinya akan melanjutkan ke babak selanjutnya. Setelah diumumkan peringkat sepuluh besar ternyata kelompok Husin dan teman-temannya berada diperingkat ke dua belas, meski hasilnya mereka tidak bisa melanjutkan ke babak selanjutnya namun mereka tetap bahagia bisa menempati peringkat ke dua belas, bahkan mereka mendapatkan penghargaan dari Departemen Agama karena mereka adalah satu-satu peserta yang berasal dari Pondok Pesantren dan hasilnya pun lumayan bagus, menempati peringkat ke dua belas dari sembilan puluh lima peserta dari berbagi sekolah swasta dan negeri.
            Husin, Abu Bakar, dan teman-teman lainnya tidak menyangka bisa mengharumkan nama Pondok Pesantren mereka di ajang telekomunikasi dan infomasi. Dengan prestasi yang dicapai oleh Husin dan kawan-kawannya banyak santri-santri yang berminat pada teknologi informasi dan komunikasi, mendengar antusias dari saudara-saudaranya Husin, Abu Bakar, dan teman-temannya dengan senang hati memberikan pengajaran kepada saudara-saudara mereka yang baru bergabung.


to be continued.....!